RAG-TV, media untuk berlawan terhadap APEC dan WTO,
terutama Konferensi WTO ke-9 di Bali.
Mari kerahkan perlawanan dan bangun alternatif-alternatif baru!
RAG-TV a media to fight against APEC and WTO, especially the 9th WTO Conference in Bali.
Resist and build Alternatives !
terutama Konferensi WTO ke-9 di Bali.
Mari kerahkan perlawanan dan bangun alternatif-alternatif baru!
RAG-TV a media to fight against APEC and WTO, especially the 9th WTO Conference in Bali.
Resist and build Alternatives !
|
|
|
|
|
|
|
|
Aksi di di dalam gedung Bali Convention Centre, Nusa Dua, tempat perundingan WTO, bersama jaringan Our World is not for Sale (OWINFS), pada tanggal 6 Desember 2013
Peluncuran buku "WTO dan Perdagangan Bebas Abad 21", dilakukan di Toko Buku Togamas, Denpasar, pada tanggal 29 November 2013
Statement and Press Release
Pernyataan
Resistance and Alternatives to Globalization (RAG)
atas Hasil Konperensi WTO ke-9, 3-7 Desember 2013, di Bali, Indonesia
Paket Bali, kemenangan korporasi bagi perdagangan rantai pasokan multilateral
KTM WTO yang seharusnya berakhir tanggal 6 Desember 2013, terpaksa diperpanjang satu hari untuk menghindari krisis dan demi menyelamatkan sebuah pertaruhan besar, yaitu WTO yang masuk ke dalam era baru perdagangan abad 21. Drama bertahannya India mempertahankan ketahanan pangan dalam hal cadangan pangan nasionalnya, sebenarnya memperlihatkan kontradiksi di negara-negara industri rantai pasokan baru yang di satu pihak rakyatnya masih banyak yang miskin, tetapi di lain pihak telah menjadi kekuatan ekonomi baru dunia. Persetujuan India sebenarnya memperlihatkan kemauan negara itu untuk berpartisipasi penuh dalam pembagian kerja internasional yang baru.
Karenanya tidak mengherankan bahwa Paket Bali sebenarnya tidak mencapai hasil apa-apa di bidang pertanian dan LDCs (Negara-negara paling miskin). Kedua komponen Paket Bali tersebut hanya menjadi semacam hiasan saja agar pantas untuk disetujui, karena tidak ada hal yang baru sama sekali dari kesepakatan dalam kedua komponen tersebut. Komponen yang sebenarnya menjadi tujuan Paket Bali adalah Trade Facilitation (Fasilitasi Perdagangan), dan hal ini sebenarnya sudah terbaca sejak WTO masih dipegang oleh Pascal Lamy. Dalam sidang General Council WTO bulan Mei 2013, Pascal Lamy menyatakan bahwa “The discussion focused on the systemic conditions under which global value chains can work better, including the importance of trade facilitation measures, the blurring frontier between goods and services.”
Karenanya kesepakatan atas fasilitasi perdagangan adalah kunci pembuka bagi masuknya WTO ke dalam era baru perdagangan rantai pasokan. Dengan disetujuinya fasilitasi perdagangan dalam paket tersebut, maka WTO kini akan mengembangkan paket rantai pasokan global, yang sebenarnya berada melampaui paket Bali. Beberapa perjanjian di dalam WTO yang akan menghantarnya menjadi badan perdagangan abad 21, selain fasilitasi perdagangan adalah TISA (Trade in Services Agreement) yang sifatnya plurilateral (tidak mencakup seluruh anggota WTO), ITA (Information Technology Agreement), dan E-Commerce. Perlu dipahami bahwa kini terjadi kekaburan arti antara kategori barang dan jasa atau antara perdagangan dan investasi. Jasa dan investasi kini merupakan bagian integral dalam rantai pasokan global. Dalam bahasa WTO, hal itu disebut sebagai poros dari perdagangan-jasa-investasi (trade-servives-investment nexus).
Dalam perdagangan rantai pasokan global, kini seluruh Negara di dunia telah terintegrasi di dalamnya dengan derajad yang berbeda-beda. Negara-negara BRICS misalnya merupakan pemain-pemain baru yang kuat, seperti China yang merupakan ‘pusat manufaktur dunia’ ataupun India yang merupakan ‘pusat jasa kantor dunia’. Brazil, Negara asal Dirjen WTO Azevedo, juga pemain utama rantai pasokan regional Amerika Latin. Sesungguhnya kini BRICS terintegrasi penuh dalam rantai pasokan global bersama-sama dengan Negara-negara maju Barat dan Jepang, menjadi sebuah jaringan produksi global (Global production Network) yang sebenarnya. Karena itu pula telah terjadi perluasan kelompok ekonomi utama dunia G-8 menjadi G-20 karena integrasi global tersebut. Indonesia sendiri juga adalah anggota G-20, dengan fungsi sebagai pemasok bahan-bahan mentah dan pasar konsumen yang besar.
Indonesia sebagai Negara tuan rumah KTM WTO ke-9 ini, meskipun merupakan peringkat ekonomi ke-15 dunia, akan tetapi sebenarnya belum terintegrasi penuh dalam rantai pasokan global. Ini karena Indonesia masih mengandalkan ekonominya pada produksi bahan-bahan mentah komoditas pertanian, mineral dan migas. Indonesia hingga kini belum merupakan Negara industri, dimana sumbangan sektor industrinya dalam PDB masih di kisaran 25%. Indonesia juga masih mempunyai sektor pertanian yang terbelakang, sehingga Indonesia seharusnya berjuang keras dalam isu pertanian di WTO. Ekonominya sampai sekarang masih tertolong oleh konsumsi domestik, bukan karena eksport. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia dan Filipina, sektor industri mereka sudah diatas 40% dari PDB dan telah terintegrasi penuh ke dalam rantai pasokan global. Karena itu menimbulkan pertanyaan juga, mengapa Indonesia menyediakan diri menjadi tuan rumah WTO kalau bukan karena alasan pencitraan belaka. Sampai akhir perundingan, Indonesia tidak ngotot dalam isu pertanian seperti India. Malahan agenda Indonesia sebagaimana yang ‘dijual’ oleh Mendag Gita Wiryawan, adalah menjadi ‘pelayan’ dari rantai pasokan global, yaitu sebagai pensuplai bahan mentah, pasar bagi sektor jasa dari luar dan pasar yang besar bagi barang-barang import dari luar. Jadi posisi Indonesia memang serba tidak jelas (sejak dari dulu), dan ini sangat merugikan kepentingan nasional yang tidak pernah terumuskan dengan baik.
Kini dengan kemenangan WTO dalam mencapai ‘deal’ (kesepakatan) baru, maka WTO akan dapat mengatur multilateralisme rantai pasokan global, yang saat ini lebih banyak bersifat regionalisme. Hal ini merupakan kemenangan besar bagi para korporasi transnasional, khususnya dalam bidang logistik dan subkontraktor manufaktur. Dengan kesepakatan fasilitasi perdagangan, maka peran mereka akan semakin besar. Khususnya peran mereka akan dominan di negara-negara yang tidak punya kapasitas dalam rantai pasokan, seperti Indonesia, yang pemerintahnya tidak pernah memahami masalah-masalahnya ataupun kepentingan-kepentingan utamanya. Negara-negara yang tidak juga membenahi masalah-masalah industrialisasinya, akan jadi korban kembali dalam perdagangan abad 21, sebuah rezim perdagangan yang jauh lebih kompleks, canggih dan semakin menyebabkan ketimpangan global.
Bali, 7 Desember 2013
Bonnie Setiawan, 081315540553
Edy Burmansyah, 08192277637
Resistance and Alternatives to Globalization (RAG)
atas Hasil Konperensi WTO ke-9, 3-7 Desember 2013, di Bali, Indonesia
Paket Bali, kemenangan korporasi bagi perdagangan rantai pasokan multilateral
KTM WTO yang seharusnya berakhir tanggal 6 Desember 2013, terpaksa diperpanjang satu hari untuk menghindari krisis dan demi menyelamatkan sebuah pertaruhan besar, yaitu WTO yang masuk ke dalam era baru perdagangan abad 21. Drama bertahannya India mempertahankan ketahanan pangan dalam hal cadangan pangan nasionalnya, sebenarnya memperlihatkan kontradiksi di negara-negara industri rantai pasokan baru yang di satu pihak rakyatnya masih banyak yang miskin, tetapi di lain pihak telah menjadi kekuatan ekonomi baru dunia. Persetujuan India sebenarnya memperlihatkan kemauan negara itu untuk berpartisipasi penuh dalam pembagian kerja internasional yang baru.
Karenanya tidak mengherankan bahwa Paket Bali sebenarnya tidak mencapai hasil apa-apa di bidang pertanian dan LDCs (Negara-negara paling miskin). Kedua komponen Paket Bali tersebut hanya menjadi semacam hiasan saja agar pantas untuk disetujui, karena tidak ada hal yang baru sama sekali dari kesepakatan dalam kedua komponen tersebut. Komponen yang sebenarnya menjadi tujuan Paket Bali adalah Trade Facilitation (Fasilitasi Perdagangan), dan hal ini sebenarnya sudah terbaca sejak WTO masih dipegang oleh Pascal Lamy. Dalam sidang General Council WTO bulan Mei 2013, Pascal Lamy menyatakan bahwa “The discussion focused on the systemic conditions under which global value chains can work better, including the importance of trade facilitation measures, the blurring frontier between goods and services.”
Karenanya kesepakatan atas fasilitasi perdagangan adalah kunci pembuka bagi masuknya WTO ke dalam era baru perdagangan rantai pasokan. Dengan disetujuinya fasilitasi perdagangan dalam paket tersebut, maka WTO kini akan mengembangkan paket rantai pasokan global, yang sebenarnya berada melampaui paket Bali. Beberapa perjanjian di dalam WTO yang akan menghantarnya menjadi badan perdagangan abad 21, selain fasilitasi perdagangan adalah TISA (Trade in Services Agreement) yang sifatnya plurilateral (tidak mencakup seluruh anggota WTO), ITA (Information Technology Agreement), dan E-Commerce. Perlu dipahami bahwa kini terjadi kekaburan arti antara kategori barang dan jasa atau antara perdagangan dan investasi. Jasa dan investasi kini merupakan bagian integral dalam rantai pasokan global. Dalam bahasa WTO, hal itu disebut sebagai poros dari perdagangan-jasa-investasi (trade-servives-investment nexus).
Dalam perdagangan rantai pasokan global, kini seluruh Negara di dunia telah terintegrasi di dalamnya dengan derajad yang berbeda-beda. Negara-negara BRICS misalnya merupakan pemain-pemain baru yang kuat, seperti China yang merupakan ‘pusat manufaktur dunia’ ataupun India yang merupakan ‘pusat jasa kantor dunia’. Brazil, Negara asal Dirjen WTO Azevedo, juga pemain utama rantai pasokan regional Amerika Latin. Sesungguhnya kini BRICS terintegrasi penuh dalam rantai pasokan global bersama-sama dengan Negara-negara maju Barat dan Jepang, menjadi sebuah jaringan produksi global (Global production Network) yang sebenarnya. Karena itu pula telah terjadi perluasan kelompok ekonomi utama dunia G-8 menjadi G-20 karena integrasi global tersebut. Indonesia sendiri juga adalah anggota G-20, dengan fungsi sebagai pemasok bahan-bahan mentah dan pasar konsumen yang besar.
Indonesia sebagai Negara tuan rumah KTM WTO ke-9 ini, meskipun merupakan peringkat ekonomi ke-15 dunia, akan tetapi sebenarnya belum terintegrasi penuh dalam rantai pasokan global. Ini karena Indonesia masih mengandalkan ekonominya pada produksi bahan-bahan mentah komoditas pertanian, mineral dan migas. Indonesia hingga kini belum merupakan Negara industri, dimana sumbangan sektor industrinya dalam PDB masih di kisaran 25%. Indonesia juga masih mempunyai sektor pertanian yang terbelakang, sehingga Indonesia seharusnya berjuang keras dalam isu pertanian di WTO. Ekonominya sampai sekarang masih tertolong oleh konsumsi domestik, bukan karena eksport. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia dan Filipina, sektor industri mereka sudah diatas 40% dari PDB dan telah terintegrasi penuh ke dalam rantai pasokan global. Karena itu menimbulkan pertanyaan juga, mengapa Indonesia menyediakan diri menjadi tuan rumah WTO kalau bukan karena alasan pencitraan belaka. Sampai akhir perundingan, Indonesia tidak ngotot dalam isu pertanian seperti India. Malahan agenda Indonesia sebagaimana yang ‘dijual’ oleh Mendag Gita Wiryawan, adalah menjadi ‘pelayan’ dari rantai pasokan global, yaitu sebagai pensuplai bahan mentah, pasar bagi sektor jasa dari luar dan pasar yang besar bagi barang-barang import dari luar. Jadi posisi Indonesia memang serba tidak jelas (sejak dari dulu), dan ini sangat merugikan kepentingan nasional yang tidak pernah terumuskan dengan baik.
Kini dengan kemenangan WTO dalam mencapai ‘deal’ (kesepakatan) baru, maka WTO akan dapat mengatur multilateralisme rantai pasokan global, yang saat ini lebih banyak bersifat regionalisme. Hal ini merupakan kemenangan besar bagi para korporasi transnasional, khususnya dalam bidang logistik dan subkontraktor manufaktur. Dengan kesepakatan fasilitasi perdagangan, maka peran mereka akan semakin besar. Khususnya peran mereka akan dominan di negara-negara yang tidak punya kapasitas dalam rantai pasokan, seperti Indonesia, yang pemerintahnya tidak pernah memahami masalah-masalahnya ataupun kepentingan-kepentingan utamanya. Negara-negara yang tidak juga membenahi masalah-masalah industrialisasinya, akan jadi korban kembali dalam perdagangan abad 21, sebuah rezim perdagangan yang jauh lebih kompleks, canggih dan semakin menyebabkan ketimpangan global.
Bali, 7 Desember 2013
Bonnie Setiawan, 081315540553
Edy Burmansyah, 08192277637
Rilis Pers
Resistance and Alternatives to Globalization (RAG)
atas Konperensi WTO ke-9, 3-6 Desember 2013, di Bali, Indonesia
Better No Deal for a Better World !
Pada hari ini Konperensi WTO (World Trade Organization) ke-9 dibuka di Bali oleh presiden Indonesia. Ini menandai kembalinya WTO dalam mesin ekonomi global. WTO sebenarnya sudah lama terhenti, terutama semenjak paket Juli 2008, karena perundingan-perundingan didalamnya buntu dan tidak dapat menghasilkan suatu kemajuan yang berarti. Putaran Doha, yang adalah agenda perundingan utama WTO yang dimulai semenjak konperensi WTO ke-4 tahun 2001 di Doha, sampai kini tidak juga membuahkan hasil, padahal mengagendakan sebanyak 22 kesepakatan di atas meja. Artinya Putaran Doha sudah macet sampai 12 tahun lamanya tanpa ada kemungkinan untuk berhasil menyelesaikan agenda-agendanya. Padahal rencananya putaran Doha akan diselesaikan dalam waktu 6 tahun. Sebagai gambaran, Putaran Uruguay sebelumnya, diadakan tahun 1986, diagendakan selesai tahun 1990, tetapi baru selesai tahun 1994 (8 tahun lamanya). Sementara Putaran Doha sampai 12 tahun tetap tidak kunjung selesai.
Kini pemerintah Indonesia mencoba menjadi penyelamat dengan menjadi tuan rumah Konperensi yang prestisius ini, di tengah-tengah kebuntuan dan kegalauan perundingan yang macet. Masalahnya apakah Indonesia sadar akan rumitnya tingkat perundingan WTO saat ini, dimana tidak ada lagi pilihan yang baik bagi Negara-negara berkembang/miskin. Apakah menyelamatkan proses Putaran Doha akan menyelamatkan Negara berkembang/miskin dari situasi keterbelakangannya?
Masalah utama di WTO saat ini bisa diibaratkan sebagai pilihan “masuk mulut buaya atau masuk mulut harimau”. Saat ini alotnya proses perundingan WTO mengerucut menjadi tiga isu utama, yaitu: pertanian (ketahanan pangan), fasilitasi perdagangan, dan fleksibilitas bagi Negara-negara paling miskin (Least Developed Countries/LDCs). Isu dalam pertanian mengerucut pada isu cadangan pangan (public food stockholding) dalam sebuah jangka waktu tertentu (peace-clause, dalam hal ini 4 tahun). Masalahnya cadangan pangan dianggap WTO sebagai mendistorsi perdagangan, meskipun di lain pihak subsidi pangan di Negara-negara maju tetap dibolehkan. Isu fasilitasi perdagangan (trade facilitation) adalah isu milik Negara-negara maju, yang mendesak dibangunnya fasilitas-fasilitas yang memperlancar perdagangan di Negara-negara berkembang/miskin bagi lancarnya perdagangan rantai pasokan global. Masalahnya pembiayaan fasilitas-fasilitas perdagangan dianggap memboroskan anggaran pembangunan yang seharusnya bisa dipakai untuk membiayai hal-hal yang lebih mendesak bagi Negara berkembang/miskin, seperti untuk fasilitas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik lainnya. Sementara isu Negara-negara paling miskin adalah fleksibilitas bagi Negara-negara tersebut untuk tidak dikenai kewajiban-kewajiban WTO yang memberatkan mereka, seperti penghapusan bea-masuk, pasar ekspor bagi mereka dan lain-lainnya.
Jadi nampaknya apa yang terjadi di WTO memperlihatkan sebuah dunia yang sangat timpang, dimana Negara-negara maju mau menang sendiri dengan isu perdagangan Rantai Pasokan/Nilai (Supply Chain dan Value Chain) yang merupakan tahapan tertinggi dari industri dan perdagangan di Negara-negara industri maju, sementara mereka tidak mau tahu dengan masalah-masalah dasar di Negara-negara berkembang/miskin. Sementara di lain pihak Negara-negara berkembang/miskin masih bergelut dengan persoalan yang sangat dasar, yaitu bagaimana mencukupi kebutuhan pangannya bagi rakyatnya yang masih serba miskin. Terlihat sekali bahwa dunia memang benar-benar sangat timpang. Yang satu mengejar kemajuan dan kekayaan tanpa henti, sementara yang lain masih berkutat pada masalah-masalah kelaparan dan kemiskinan. Hal ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa Negara-negara paling miskin mempunyai posisi yang rentan dalam sistem perdagangan dunia, yang sangat tergantung pada kebaikan pasar di Negara-negara maju.
Masalahnya kemudian, menyelesaikan persoalan-persoalan di atas dalam sistem WTO mengandung pilihan-pilihan yang rumit, dimana sebenarnya tidak ada pilihan yang baik bagi Negara berkembang/miskin. Negara berkembang/miskin dipaksa masuk dalam pilihan dimana adanya kesepakatan (deal) dalam konperensi WTO mengenai masalah ketahanan pangan, sebenarnya tidaklah menyelesaikan masalah mereka. Ketahanan pangan justru menjebak Negara berkembang/miskin pada mekanisme pasar dalam pertanian dan pangan, dimana cadangan pangan justru dicari atau dipenuhi dari import pangan, bukan dari pembelian ke petaninya sendiri. Ini seperti yang terjadi dengan Indonesia sekarang, dimana kekurangan atau kelangkaan pangan justru diatasi dengan mengimport lebih banyak. Selain itu, bila dalam konperensi WTO Negara berkembang/miskin menang dalam ketahanan pangan dan isu LDCs, maka dengan sendirinya harus ditukar dengan disetujuinya fasilitasi perdagangan yang diminta oleh Negara-negara maju. Artinya, bukannya kemenangan yang didapat, justru masuk ke masalah-masalah baru yang lebih besar. Jadi keluar dari mulut buaya, untuk diterkam oleh harimau-harimau.
Karenanya bagi kami, masalah-masalah WTO ini haruslah diatasi dengan cara yang lebih mendasar, yaitu tidak adanya kesepakatan di dalam WTO Bali, dan Negara-negara berkembang/miskin harus mulai menata perekonomiannya masing-masing agar menjadi mandiri (berdikari), sehingga perdagangan internasional bukanlah jalan keluar, tetapi kemandirian nasional-lah yang merupakan jalan keluar. Perdagangan internasional dalam tatanan multilateralisme harus dibangun berdasarkan kerjasama pembangunan internasional yang adil dan berkelanjutan, dan bukan berdasarkan mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Untuk itulah WTO sebagai tatanan multilateral harus dirombak agar melayani kepentingan pembangunan dan kemandirian nasional, dan bukannya melayani kepentingan korporasi dan bisnis global.
Karenanya konperensi WTO Bali kali ini haruslah tidak menghasilkan kesepakatan (deal). Kalau dulu Joseph Stiglitz menyatakan “No deal is better than a bad deal !”, maka sekarang perlu dinyatakan “Better no deal for a better world !”. Kematian WTO sebagai badan multilateral juga disukai oleh kalangan korporasi dan kapitalis global, karena mereka sekarang lebih senang memakai mekanisme regional dan bilateral dalam memajukan perdagangan rantai pasokan. Lebih mudah menekan Negara-negara berkembang/miskin lewat mekanisme FTA (Free Trade Agreement) dalam kawasan (regional) atau bilateral, atau bahkan unilateral yang dilakukan masing-masing Negara lewat penyesuaian struktural mengikuti tekanan hutang atau lewat Bank Dunia dan IMF.
Negara berkembang/miskin menghadapi dilema, bila konperensi WTO gagal kali ini, maka berarti juga tamatnya multilateralisme, yang dianggap lebih baik ketimbang regionalisme dan FTA. Sementara Negara-negara maju sekarang semakin agresif dengan FTA dan regionalisme semacam TPP (Trans-Pacific Partnership) yang didorong oleh Amerika Serikat. Hemat kami, WTO sebagai badan multilateral sebaiknya tidak lagi menghasilkan kesepakatan-kesepakatan baru (Stop WTO !), dan justru harus dirombak agar melayani kepentingan pembangunan di Negara-negara berkembang/miskin. Dampak WTO selama ini telah sangat merugikan Negara-negara berkembang/miskin, dan karenanya sudah saatnya menggantinya dengan sebuah multilateralisme yang berkeadilan dan menjamin keberlanjutan ekologis bumi. Dengan multilateralisme baru, maka Negara-negara maju dapat dipaksa melayani program-program pembangunan yang berkeadilan dan perdagangan yang adil. Multilateralisme baru yang adil dan berkelanjutan juga akan dapat melemahkan FTA dan regionalisme baru.
Lebih baik tidak ada kesepakatan demi dunia yang lebih baik. “Better no deal for a better world !”
Bali, 3 Desember 2013
Bonnie Setiawan, 081315540553
Edy Burmansyah, 08192277637
Resistance and Alternatives to Globalization (RAG)
atas Konperensi WTO ke-9, 3-6 Desember 2013, di Bali, Indonesia
Better No Deal for a Better World !
Pada hari ini Konperensi WTO (World Trade Organization) ke-9 dibuka di Bali oleh presiden Indonesia. Ini menandai kembalinya WTO dalam mesin ekonomi global. WTO sebenarnya sudah lama terhenti, terutama semenjak paket Juli 2008, karena perundingan-perundingan didalamnya buntu dan tidak dapat menghasilkan suatu kemajuan yang berarti. Putaran Doha, yang adalah agenda perundingan utama WTO yang dimulai semenjak konperensi WTO ke-4 tahun 2001 di Doha, sampai kini tidak juga membuahkan hasil, padahal mengagendakan sebanyak 22 kesepakatan di atas meja. Artinya Putaran Doha sudah macet sampai 12 tahun lamanya tanpa ada kemungkinan untuk berhasil menyelesaikan agenda-agendanya. Padahal rencananya putaran Doha akan diselesaikan dalam waktu 6 tahun. Sebagai gambaran, Putaran Uruguay sebelumnya, diadakan tahun 1986, diagendakan selesai tahun 1990, tetapi baru selesai tahun 1994 (8 tahun lamanya). Sementara Putaran Doha sampai 12 tahun tetap tidak kunjung selesai.
Kini pemerintah Indonesia mencoba menjadi penyelamat dengan menjadi tuan rumah Konperensi yang prestisius ini, di tengah-tengah kebuntuan dan kegalauan perundingan yang macet. Masalahnya apakah Indonesia sadar akan rumitnya tingkat perundingan WTO saat ini, dimana tidak ada lagi pilihan yang baik bagi Negara-negara berkembang/miskin. Apakah menyelamatkan proses Putaran Doha akan menyelamatkan Negara berkembang/miskin dari situasi keterbelakangannya?
Masalah utama di WTO saat ini bisa diibaratkan sebagai pilihan “masuk mulut buaya atau masuk mulut harimau”. Saat ini alotnya proses perundingan WTO mengerucut menjadi tiga isu utama, yaitu: pertanian (ketahanan pangan), fasilitasi perdagangan, dan fleksibilitas bagi Negara-negara paling miskin (Least Developed Countries/LDCs). Isu dalam pertanian mengerucut pada isu cadangan pangan (public food stockholding) dalam sebuah jangka waktu tertentu (peace-clause, dalam hal ini 4 tahun). Masalahnya cadangan pangan dianggap WTO sebagai mendistorsi perdagangan, meskipun di lain pihak subsidi pangan di Negara-negara maju tetap dibolehkan. Isu fasilitasi perdagangan (trade facilitation) adalah isu milik Negara-negara maju, yang mendesak dibangunnya fasilitas-fasilitas yang memperlancar perdagangan di Negara-negara berkembang/miskin bagi lancarnya perdagangan rantai pasokan global. Masalahnya pembiayaan fasilitas-fasilitas perdagangan dianggap memboroskan anggaran pembangunan yang seharusnya bisa dipakai untuk membiayai hal-hal yang lebih mendesak bagi Negara berkembang/miskin, seperti untuk fasilitas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik lainnya. Sementara isu Negara-negara paling miskin adalah fleksibilitas bagi Negara-negara tersebut untuk tidak dikenai kewajiban-kewajiban WTO yang memberatkan mereka, seperti penghapusan bea-masuk, pasar ekspor bagi mereka dan lain-lainnya.
Jadi nampaknya apa yang terjadi di WTO memperlihatkan sebuah dunia yang sangat timpang, dimana Negara-negara maju mau menang sendiri dengan isu perdagangan Rantai Pasokan/Nilai (Supply Chain dan Value Chain) yang merupakan tahapan tertinggi dari industri dan perdagangan di Negara-negara industri maju, sementara mereka tidak mau tahu dengan masalah-masalah dasar di Negara-negara berkembang/miskin. Sementara di lain pihak Negara-negara berkembang/miskin masih bergelut dengan persoalan yang sangat dasar, yaitu bagaimana mencukupi kebutuhan pangannya bagi rakyatnya yang masih serba miskin. Terlihat sekali bahwa dunia memang benar-benar sangat timpang. Yang satu mengejar kemajuan dan kekayaan tanpa henti, sementara yang lain masih berkutat pada masalah-masalah kelaparan dan kemiskinan. Hal ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa Negara-negara paling miskin mempunyai posisi yang rentan dalam sistem perdagangan dunia, yang sangat tergantung pada kebaikan pasar di Negara-negara maju.
Masalahnya kemudian, menyelesaikan persoalan-persoalan di atas dalam sistem WTO mengandung pilihan-pilihan yang rumit, dimana sebenarnya tidak ada pilihan yang baik bagi Negara berkembang/miskin. Negara berkembang/miskin dipaksa masuk dalam pilihan dimana adanya kesepakatan (deal) dalam konperensi WTO mengenai masalah ketahanan pangan, sebenarnya tidaklah menyelesaikan masalah mereka. Ketahanan pangan justru menjebak Negara berkembang/miskin pada mekanisme pasar dalam pertanian dan pangan, dimana cadangan pangan justru dicari atau dipenuhi dari import pangan, bukan dari pembelian ke petaninya sendiri. Ini seperti yang terjadi dengan Indonesia sekarang, dimana kekurangan atau kelangkaan pangan justru diatasi dengan mengimport lebih banyak. Selain itu, bila dalam konperensi WTO Negara berkembang/miskin menang dalam ketahanan pangan dan isu LDCs, maka dengan sendirinya harus ditukar dengan disetujuinya fasilitasi perdagangan yang diminta oleh Negara-negara maju. Artinya, bukannya kemenangan yang didapat, justru masuk ke masalah-masalah baru yang lebih besar. Jadi keluar dari mulut buaya, untuk diterkam oleh harimau-harimau.
Karenanya bagi kami, masalah-masalah WTO ini haruslah diatasi dengan cara yang lebih mendasar, yaitu tidak adanya kesepakatan di dalam WTO Bali, dan Negara-negara berkembang/miskin harus mulai menata perekonomiannya masing-masing agar menjadi mandiri (berdikari), sehingga perdagangan internasional bukanlah jalan keluar, tetapi kemandirian nasional-lah yang merupakan jalan keluar. Perdagangan internasional dalam tatanan multilateralisme harus dibangun berdasarkan kerjasama pembangunan internasional yang adil dan berkelanjutan, dan bukan berdasarkan mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Untuk itulah WTO sebagai tatanan multilateral harus dirombak agar melayani kepentingan pembangunan dan kemandirian nasional, dan bukannya melayani kepentingan korporasi dan bisnis global.
Karenanya konperensi WTO Bali kali ini haruslah tidak menghasilkan kesepakatan (deal). Kalau dulu Joseph Stiglitz menyatakan “No deal is better than a bad deal !”, maka sekarang perlu dinyatakan “Better no deal for a better world !”. Kematian WTO sebagai badan multilateral juga disukai oleh kalangan korporasi dan kapitalis global, karena mereka sekarang lebih senang memakai mekanisme regional dan bilateral dalam memajukan perdagangan rantai pasokan. Lebih mudah menekan Negara-negara berkembang/miskin lewat mekanisme FTA (Free Trade Agreement) dalam kawasan (regional) atau bilateral, atau bahkan unilateral yang dilakukan masing-masing Negara lewat penyesuaian struktural mengikuti tekanan hutang atau lewat Bank Dunia dan IMF.
Negara berkembang/miskin menghadapi dilema, bila konperensi WTO gagal kali ini, maka berarti juga tamatnya multilateralisme, yang dianggap lebih baik ketimbang regionalisme dan FTA. Sementara Negara-negara maju sekarang semakin agresif dengan FTA dan regionalisme semacam TPP (Trans-Pacific Partnership) yang didorong oleh Amerika Serikat. Hemat kami, WTO sebagai badan multilateral sebaiknya tidak lagi menghasilkan kesepakatan-kesepakatan baru (Stop WTO !), dan justru harus dirombak agar melayani kepentingan pembangunan di Negara-negara berkembang/miskin. Dampak WTO selama ini telah sangat merugikan Negara-negara berkembang/miskin, dan karenanya sudah saatnya menggantinya dengan sebuah multilateralisme yang berkeadilan dan menjamin keberlanjutan ekologis bumi. Dengan multilateralisme baru, maka Negara-negara maju dapat dipaksa melayani program-program pembangunan yang berkeadilan dan perdagangan yang adil. Multilateralisme baru yang adil dan berkelanjutan juga akan dapat melemahkan FTA dan regionalisme baru.
Lebih baik tidak ada kesepakatan demi dunia yang lebih baik. “Better no deal for a better world !”
Bali, 3 Desember 2013
Bonnie Setiawan, 081315540553
Edy Burmansyah, 08192277637
Rilis Pers
Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) atas Konperensi APEC, 1-8 Oktober 2013, di Bali Indonesia STOP LIBERALISASI APEC, JALANKAN KEMANDIRIAN NASIONAL Forum APEC yang diselenggarakan di Bali, Indonesia pada tanggal 1-8 Oktober 2013 merupakan forum tahunan dari para pengambil keputusan negara dan para pimpinan korporasi (di APEC lewat APEC Business Advisory Council/ABAC) dalam menyetir agenda perdagangan bebas di wilayah Asia Pasifik. Forum APEC juga seringkali dijalankan untuk memenuhi hasrat dominasi Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik. Tahun ini agenda perdagangan bebas mendominasi agenda pertemuan. Ini karena dunia sedang mengalami perubahan besar kepada perdagagan abad-21. Saat ini secara definitif hendak ditetapkan agenda perdagangan Rantai Pasokan untuk menjadi tema utama dari puncak pertemuan perdagangan bebas di APEC dan di WTO pada Desember 2013 nanti. APEC akan menjadi pendorong utama agar perundingan Putaran Doha di WTO yang mengalami kemacetan dan kebuntuan, dapat kembali bergerak dinamis, mengarah kepada pengadopsian rantai pasokan sebagai perspektif utama model perdagangan abad 21 ini. Karenanya tujuan APEC dan WTO kali ini sangat bersesuaian, karena sama-sama akan diadakan di Bali dalam rentang waktu yang pendek. Ini tidak lepas juga dari peran Indonesia yang secara sukarela menjadi relawan dalam mengatasi kebuntuan ini dengan menawarkan menjadi tuan rumahnya. Padahal Indonesia sebenarnya tidak mempunyai kepentingan utama dalam mempromosikan ekonomi rantai pasokan, karena Indonesia tidak terintegrasi secara penuh ke dalamnya. Kami bertanya, apakah ada kepentingan nasional Indonesia yang akan diperjuangkan, ketika menjadi tuan rumah pertemuan APEC? Apa maksud ucapan presiden SBY yang menyatakan dirinya sebagai “Chief Salesperson Indonesia Inc.? Apakah mau menjual dan menggadaikan Indonesia? Karena Indonesia sampai saat ini ekonominya masih bersifat primitif, yaitu lebih banyak didominasi ekspor bahan mentah dan komoditas pertanian. Indonesia dalam era rantai pasokan hanya menjadi pemasok bahan-bahan mentah di bagian hulu dan pasar serba terbuka di bagian hilir. Indonesia bahkan oleh badan PBB (UNIDO/United Nations Industrial Development Organization) belum dapat disebut sebagai Negara industri, karena sumbangan sektor industrinya terhadap PDB masih sangat lemah (di bawah 25%). Indonesia menurut pemerintah berkepentingan terhadap dijalankannya agenda konektivitas dan proyek-proyek infrastruktur. Akan tetapi bisa dilihat bahwa hal ini hanyalah untuk kepentingan elit-elit Indonesia yang bersifat pemburu rente (rent-seekers) yang berkepentingan atas proyek-proyek infrastruktur dan konektivitas, dan bukan untuk membangun bangsa dan negaranya. Oleh karena itu kami hendak menyampaikan pandangan-pandangan kami berikut ini: 1. Bahwa pertemuan APEC kali ini di tengah-tengah krisis ekonomi, justru akan memperkuat terjadinya krisis ekonomi lanjutan. Hal ini bisa dilihat dari batalnya kedatangan presiden AS Barrack Obama dikarenakan krisis ‘shutdown’ negaranya. AS sebenarnya sedang menghadapi krisis utang yang luar biasa besarnya, yang terutama dikarenakan dampak dari liberalisasi keuangan dan utang. 2. Agenda APEC yang berusaha mendorong pencapaian semangat Bogor Goals (rezim perdagangan dan investasi yang semakin terbuka dan bebas) justru membuktikan bahwa Bogor Goals adalah jalan sesat yang memperkuat krisis semakin besar, karena liberalisasi perdagangan dan investasi merupakan penyebab utama krisis global 1997/98, 2008/09 dan sekarang ini (2012/13). Liberalisasi import telah menjadi penyebab terjadinya kelangkaan bahan-bahan pangan dan naiknya harga-harga di Indonesia, akibat pasar yang tidak bisa dikontrol oleh Negara, dan dijalankannya skema import besar-besaran sebagai alat penanggulangan krisis. 3. Agenda APEC mendorong diadakannya perdagangan rantai pasokan, yang akan dibawa ke dalam forum WTO Desember mendatang. Perdagangan rantai pasokan ini sejatinya hanya akan memperkuat jaringan rantai produksi korporasi-korporasi global yang akan mengikat negara-negara untuk menjadi ‘pelayan’ di dalam titik-titik mata rantai produksi barang, jasa dan modal. Ini akan memperkuat kekuatan korporasi dunia atas negara-negara berdaulat. Langkah pertamanya adalah menjalankan kesepakatan Trade Facilitation (fasilitasi perdagangan) baik di APEC maupun yang akan dibawa ke WTO, sebagai alat membebaskan perdagangan dari segala hambatan perbatasan serta memaksakan subsidi Negara dalam membiayai berbagai modernisasi aspek-aspek logistik yang baru untuk kepentingan korporasi. 4. Agenda APEC bagi peningkatan konektivitas dan pembangunan infrastruktur juga terkait dengan perdagangan rantai pasokan, yaitu agar Negara membiayai kelancaran arus distribusi barang, jasa, modal dan gerak kaum bisnis, sehingga pihak korporasi dapat menjalankan operasi usahanya dengan lebih efisien dan efektif serta meningkatkan keuntungan (profit) lebih banyak lagi. Hal ini dapat dilihat dari program MP3EI yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, yang menambah utang baru bagi pemerintah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur maupun memfasilitasi penguasaan swasta atas fasilitas dan aset publik untuk dikuasai pihak korporasi. Contohnya adalah proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) yang sebenarnya dijalankan untuk kepentingan pihak swasta tertentu dan proyek rente birokrat. 5. Karenanya resep yang dibawakan oleh APEC bagi rezim perdagangan dan investasi yang semakin bebas akan menjerumuskan kembali dunia dan kawasan kedalam krisis yang akan terus berulang. Pernyataan presiden SBY untuk melanjutkan liberalisasi perdagangan adalah salah-kaprah. Liberalisasi adalah jalan kepada krisis tak berujung, akan tetapi justru dipakai sebagai obat untuk menyembuhkan krisis. Akibatnya malah krisis akan semakin sering terjadi dan terus berulang tiada henti. 6. Kami meminta agar pemerintah RI menyadari kekeliruan kebijakannya selama ini, dan harus berganti arah kepada penguatan kemandirian nasional. Indonesia harus kembali kepada amanat konstitusi sebagai Negara berdaulat yang mandiri dan tidak terus menerus didikte ke dalam arus liberalisasi seperti sekarang. Liberalisasi perdagangan dan investasi sebagaimana yang dibawakan oleh APEC adalah bertentangan dengan konstitusi Negara - UUD 1945 dan Pancasila. Jakarta, 8 Oktober 2013 Bonnie Setiawan, 081315540553 Edy Burmansyah, 08192277637 |
Press Briefing
Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) terhadap Konperensi APEC, 1-8 Oktober 2013, di Bali Indonesia STOP LIBERALISASI APEC, MARI JALANKAN KEMANDIRIAN NASIONAL ! Latar Belakang APEC Konperensi APEC tahun ini diadakan di Bali, Indonesia pada tanggal 1-8 Oktober 2013. Menariknya pada tanggal 3-6 Desember 2013 di Bali juga akan diadakan Konperensi yang jauh lebih besar, yaitu Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-9. Kedua konperensi ini berkaitan satu sama lain, meskipun APEC bukanlah bagian dari WTO. APEC adalah forum investasi dan perdagangan bebas yang bersifat informal dan tidak mengikat serta dalam lingkup kerjasama kawasan Asia-Pasifik, sementara WTO adalah forum perdagangan formal yang sifatnya sangat mengikat dalam lingkup kerjasama multilateral dunia. Persamaannya, keduanya mempromosikan perdagangan bebas yang semakin terbuka dan semakin bebas. WTO berdiri tahun 1994, tahun yang sama dengan dimulainya Bogor Goals yang merupakan rumusan tujuan dasar APEC dari hasil Konperensi APEC di Bogor tahun 1994: sebuah kawasan investasi dan perdagangan yang bebas dan terbuka. Ide perdagangan bebas ini sesuai dengan garis faham neo-liberal dan konsensus Washington yang sedang marak-maraknya ketika itu. Dalam perjalanannya, APEC lebih banyak dikenal sebagai forum yang bukan hanya membicarakan perdagangan bebas saja. Sesuai dengan sifatnya yang merupakan forum informal, maka APEC sangat dipengaruhi oleh kepentingan sesaat dan konteks waktu diadakannya konperensi. Hingga saat ini, APEC juga dikenal sebagai forum yang didominasi oleh kepentingan geo-politik Amerika Serikat, meskipun di dalamnya juga terdapat Negara semacam China (bergabung tahun 1991) dan Rusia (bergabung di APEC tahun 1998). Bila kita baca visi APEC yang dituangkan dalam Yokohama Vision tahun 2010, maka visinya adalah sebuah masyarakat (kawasan) yang terintegrasi secara ekonomi, bertumbuh secara berkualitas, dan dalam lingkungan ekonomi yang aman (secure). Visi “keamanan” ini yang lalu sering ditafsirkan AS sebagai agenda keamanan (security) juga, dengan jalan memerangi terorisme di berbagai belahan dunia. Demikian pula ambisi APEC untuk menjadikannya sebagai sebuah FTAAP (Free Trade Area of Asia Pacific), lebih banyak didorong oleh ambisi geo-politik AS dalam mendominasi percaturan politik Asia Pasifik, terutama semenjak kebangkitan China yang berhasil menjadi kekuatan ekonomi utama di Asia timur. APEC juga menyaksikan bahwa sejak berdirinya di tahun 1989, tahun yang sama dengan tumbangnya tembok Berlin, maka AS kemudian menjadi penguasa tunggal dunia yang sangat dominan (unipolar); tetapi kini sedang dalam keadaan surut dan melihat pasang naiknya negara-negara yang sanggup menantang hegemoninya selama ini (China, Rusia, dan Negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dan Venezuela) yang dikenal sebagai situasi multipolar. Naiknya Perdagangan Abad 21 Dalam konperensi APEC 2011 di Honolulu, AS, hasilnya adalah menggarisbawahi ambisi visi APEC bagi terciptanya sebuah kesepakatan perdagangan baru abad 21 (“the next generation trade and investment issues that should be included in 21st century trade agreements in the region, including a Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP”). Selanjutnya dalam Konperensi APEC di Vladivostok, Rusia tahun 2012, penekanan diberikan kepada kinerja ekonomi rantai pasokan (supply chain performance) dan pertumbuhan inovatif (innovative growth), terutama melalui integrasi ekonomi kawasan serta fasilitasi investasi dan perdagangan. Nampak bahwa hasil APEC di Vladivostoc sangat diwarnai oleh kepentingan perekonomian Negara-negara yang sedang bangkit, yaitu China dan Rusia. Dalam konperensi tersebut juga terlihat adanya perbedaan pandangan antara AS dengan Rusia dalam melihat tatanan global dunia. Kini apa yang akan dihasilkan oleh Konperensi APEC 2013 di Indonesia? Dalam rilisnya, kementerian Perdagangan Indonesia menekankan pada Bogor Goals, kesinambungan ekonomi global dan mempromosikan konektivitas. Di lain pihak, Kementeran Luar Negeri juga menyatakan secara spesifik bahwa agenda utama konperensi APEC adalah pada agenda konektivitas regional, khususnya sebuah kerangka konektivitas APEC dan kemitraan dalam investasi dan pengembangan infrastruktur. Ini sesuai dengan hasil pertemuan SOM (Senior Official Meeting) APEC di Surabaya pada April 2013 yang lalu, yang mengarah bagi adanya kerangka konektivitas yang menyatu guna merendahkan biaya-biaya berbisnis, sehingga memfasilitasi pergerakan orang, barang, jasa, informasi dan enerji di dalam kawasan perekonomian APEC. Jadi apa yang sebenarnya menjadi benang merah dalam pembahasan di APEC akhir-akhir ini? Tidak lain adalah munculnya ekonomi investasi dan perdagangan baru abad 21, sebagaimana yang telah disinggung dalam konperensi APEC di Honolulu. Ini adalah tema utama dari ekonomi rantai pasokan (supply chain) yang kini telah menjadi mode utama produksi barang dan jasa di seluruh dunia. Kini para analis menyatakan adanya perdagangan abad 21 yang jauh berbeda dengan perdagangan abad 20 atau perdagangan barang-barang (trade of goods) yang selama ini kita kenal. Para analis menyebutnya sebagai perdagangan tugas-tugas (trade of tasks). Ini karena negara-negara tidak lagi berdagang barang jadi (finished goods), tapi berbagi tugas dalam membuat barang-barang, yang melibatkan jasa, investasi dan perdagangan sekaligus. Karena itulah rezim perdagangan internasional sedang mengalami perubahan besar-besaran, dan hal tersebut yang tercermin di dalam dinamika di APEC dan WTO. Ini adalah tahap mutakhir dari kapitalisme global. Paper yang dihasilkan oleh ERSD (Economic Research and Statistic Division) dari WTO di tahun 2011, menggambarkan apa yang disebutnya sebagai “21st Century Regionalism” yang merupakan model baru bagi sistem perdagangan yang jauh lebih kompleks dari sistem perdagangan abad 20 yang selama ini dikenal. Sistem perdagangan baru ini dengan sendirinya merubah semua pandangan dan aturan perdagangan yang kita kenal selama ini dari yang tadinya berfokus kepada akses pasar, kini bergeser kepada kepentingan rezim pasar yang lebih kompleks. Kepentingan pasar yang lebih besar dan kompleks tersebut yang dinamakan kaitan perdagangan-investasi-jasa (trade-investment-service nexus)[1], yang sebangun dengan apa yang disebut sebagai jaringan produksi global (global production network) yang merupakan bangunan yang merangkai internasionalisasi rantai pasokan dari berbagai tempat di dunia. Dalam pengertian ini maka perdagangan, investasi dan jasa telah saling berbaur dan bertumpang-tindih. Karenanya reorganisasi dan restrukturisasi lintas global telah merubah istilah-istilah lama dan memotong lintasan batas-batas antara kategori yang berbeda-beda dari produksi barang-barang dan jasa atau perdagangan dan investasi ke dalam satu rantai produksi global yang terkonsolidasi. Kini produksi barang-barang dapat saja dikategorikan sebagai jasa-jasa, begitupun sebaliknya; demikian pula investasi dapat dikatakan sebagai perdagangan, dan sebaliknya. Karena itu tidak heran bila Menteri Perdagangan Gita Wiryawan menyampaikan tentang pentingnya sektor jasa dalam perekonomian global sekarang dan dalam pertemuan APEC, khususnya dalam memberikan nilai tambah dalam rantai nilai (value chain). Katanya: "Ada tiga hal yang dapat difokuskan dalam mengambil kebijakan yang mendukung posisi jasa sebagai nilai tambah dalam kegiatan produksi di Indonesia, yaitu bagaimana jasa dapat mendukung rantai nilai, bagaimana mengambil keuntungan dari tingginya kecenderungan konsumsi di Indonesia, dan bagaimana Indonesia dapat menciptakan lingkungan bisnis yang bersahabat (business friendly environment)."[2] Kini tidak mengherankan bahwa agenda rantai pasokan dan jaringan produksi rantai pasokan global sedang menjadi agenda utama yang mengikat forum-forum baik APEC maupun WTO. Sekarang setiap forum perdagangan dan investasi, serta juga forum-forum blok kawasan ekonomi menetapkan agenda baru dalam mengintegrasikan perdagangan rantai pasokan ke dalam kebijakan nasional masing-masing Negara. Dalam hal ini pemerintah Indonesia telah menjadi ‘relawan’ yang handal dalam mempromosikan agenda ini, dengan menjadi tuan rumah dari dua forum yang sangat penting tersebut, APEC dan WTO. Pernyataan Menteri Perdagangan diatas juga sarat dengan agenda kepentingan global (bukan kepentingan nasional). Akan tetapi apa keuntungannya bagi Indonesia sendiri? Dimana Posisi Indonesia? Bila dilihat integrasi Indonesia ke dalam jaringan produksi regional Asia Timur, maka sebenarnya keikutsertaan Indonesia masih sangat lemah. Ini karena Indonesia tidak berusaha memajukan industrinya, melainkan hanya menjadi penjual bahan-bahan mentah dan masih mengantungkan sumber pendapatannya dari migas. Karena itu pula rezim ekonomi-politiknya bukanlah rezim pro-industri, melainkan rezim rente yang primitif sifatnya, yaitu menjadi broker dan rente sumber-sumber alam dari rakyatnya sendiri. Surplus dari sumber-sumber alam sebagian besar tetap lari ke luar, dan sebagian kecil masuk ke kantong-kantong para penguasa rente. Sebenarnya dengan keadaan ini, Indonesia tidak akan menjadi pendukung ekonomi rantai pasokan global, baik dari APEC maupun WTO, karena Indonesia tidak punya kepentingan kesana. Hal ini tidak seperti Thailand, Malaysia dan Filipina yang sudah terintegrasi ke dalam jaringan produksi regional. Karenanya menjadi aneh bila Indonesia memaksakan diri menjadi tuan rumah konperensi APEC dan WTO yang sedang mempromosikan ekonomi rantai pasokan. Di lain pihak tidak kelihatan adanya rumusan-rumusan dari Indonesia sendiri yang membela kepentingan nasionalnya yang khusus, yaitu sebagai negara penghasil bahan mentah, sebagai negara agraris dan sumberdaya alam, yang berkehendak memajukan sektor-sektor tersebut agar bisa menjadi negara pengolah bahan mentah. Agar bisa kesana, Indonesia memerlukan kebijakan industrial yang kuat disertai oleh program reforma agraria yang juga kuat, yang memerlukan campur-tangan Negara yang juga kuat dalam menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam hal ini yang justru dibutuhkan adalah adanya policy space (ruang kebijakan) yang lebar dan luas di dalam negeri, yang untuk ini tidak harus bersesuaian dengan rezim liberalisasi perdagangan bebas APEC dan WTO yang justru mempersempit dan menutup ‘policy space’ tersebut. Demikian pula bila kita melihat program pemerintah dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan jangka waktu tahun 2011-2025, yang sebenarnya hanya ditujukan bagi menjawab masalah-masalah logistik dan distribusi dari ekonomi rantai pasokan global. MP3EI lebih berfokus pada program pencarian nilai tambah di dalam keseluruhan industri rantai nilai, yang terkait dengan jaringan komoditas global dan regional. Hal ini juga merupakan satu bagian saja, disamping bagian lainnya dari MP3EI berupa pengembangan wilayah (Koridor) dan pembangunan infrastruktur serta kapasitas logistik. Secara umum, MP3EI adalah sebuah disain rantai nilai/pasokan, yang merupakan keharusan dalam skema globalisasi sekarang. Permasalahannya adalah apakah posisi Indonesia hanya menjadi sub-bagian saja dari rantai nilai global atau menjadi bagian otonom yang mampu menjalankan kepentingan-kepentingan pembangunan industri nasionalnya? Nampaknya, MP3EI ada di posisi pertama, yaitu menjadi sub-bagian saja, dan tidak mengedepankan kepentingan perekonomian nasionalnya, apalagi pembangunan industrialnya. MP3EI hanya menjadi bagian pemasok bahan-bahan mentah dan komoditas pertanian (di bagian hulu) untuk industri-industri di luar, serta menjadi pasar bagi barang-barang jadi dari industri luar (hilir). Nilai tambah yang dimaksudkannya masihlah di tingkat komoditas mentah atau setengah jadi, bukan sebagai industri pengolah. Inilah yang dimaksudkan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan sebagai pengembangan sektor jasa tersebut. Apa Kepentingan Nasional Indonesia? Jadi apa yang salah dengan ‘menjadi tuan rumah’ APEC dan WTO? Yang salah adalah tidak adanya kepentingan nasional yang jelas di dalam forum-forum tersebut. Justru yang terjadi adalah menundukkan kembali kepentingan nasional kepada kepentingan global; kepada kepentingan korporasi-korporasi global yang dirayu untuk berinvestasi dan ber’dagang’ di Indonesia dalam kerangka jaringan rantai pasokan global, dengan mengorbankan biaya-biaya pembangunan yang luar biasa besarnya melalui MP3EI yang justru untuk melayani kepentingan global tersebut. Sementara kepentingan nasonal dan rakyat Indonesia sendiri (sebagai pelaku usaha sektor riel di bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan, kerajinan kecil dan industri kecil/menengah) justru diabaikan dan tidak pernah dilindungi oleh pemerintahnya sendiri. Rezim liberalisasi ekonomi Indonesia ini sudah lama mengkhianati amanat konstitusi dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi Indonesia kepada ekonomi asing; menggantungkan dirinya kepada utang dan investasi asing; serta menjalankan rezim liberalisasi import besar-besaran yang mematikan petani dan produsen Indonesia sendiri. Saatnya kembali mengatakan, bahwa yang dibutuhkan Indonesia adalah kemandirian di bidang ekonomi, dengan mengandalkan pada kekuatannya sendiri yang mempunyai kekayaan alam berlimpah, tenaga kerja produktif yang potensial, serta pasar domestik yang besar. Perkuat terlebih dahulu ekonomi dalam negeri, pasar dalam negeri dan sumberdaya manusia Indonesia. Dengan itu ekonomi Indonesia akan bisa melampaui ekonomi-ekonomi Negara-negara lain, dan mampu mengatasi dominasi asing di berbagai bidang. Karenanya kita katakan stop liberalisasi perdagangan APEC dan WTO, dan jalankan program kemandirian nasional sekarang juga ! *** Jakarta, 8 Oktober 2013 Bonnie Setiawan, 081315540553 Edy Burmansyah, 08192277637 [1] Richard Balwin, “21st Century Regionalism: Filling the gap between 21st century trade and 20th century trade rules”, Manuscript date April 2011, ERSD-WTO, Geneva, hlm 3, 8. [2] Lihat di “Bogor Goals "Sedot" Investasi Anggota APEC 2013”, tentang laporan tertulis Puskom Kemendag dalam http://economy.okezone.com/read/2013/04/20/320/794888/redirect, 23 September 2013, 23:00 |